Watercoloring My Life

Lost in Bali (part 1)

Senin, 17 Maret 2014

Watercoloring My Life



        Kali ini saya akan membahas media lukis yang bernama cat air. Saya ingin berbagi mengenai pengalaman saya belajar melukis dengan cat air dan merk-merk cat air yang pernah saya gunakan.
      Tidak bisa dipungkiri, at some points of your life, hampir semua anak sekolah akan mengenal satu merk cat air pertamanya yang tidak lain tidak bukan adalah......Guitar. Kalau tidak salah waktu SMA harganya yang kemasan kecil Rp 3,000. Cat ini berbentuk pasta dalam kemasan tube.Seumur hidup saya hanya mengetahui satu merk itu saja. Cat air merk Guitar warnanya pekat dan kusam juga sedikit kasar (jika telah kering akan terasa serbuk-serbuk pada permukaan lukisan). Seperti ini penampakannya:
Lalu, saat kuliah saya iseng membuat hiasan yang membutuhkan cat air. Saya pun mencari ke toko buku dan menemukan cat air merk Marie's. Lumayan lah ini harganya Rp 60,000 pasti berkualitas, pikir saya. Ini cat air ke-dua yang saya pernah pakai.

                                                                      sumber: google

Benar saja, ketika saya coba warnanya sangat vivid dan cerah seperti cat poster. Permukaannya juga terasa halus. Tapi saat itu saya mengaplikasikan catnya secara asal di atas kanvas. Saya tidak tahu teknik tertentu, yang penting bidang gambar tertutup warna.
         Sekitar awal tahun 2012, saya mengikuti kelas cat air untuk pemula di Tobucil n Klabs, Bandung. Pengajarnya adalah R.E Hartanto, atau yang akrab disapa Mas Tanto, seorang dosen Seni Rupa ITB. Pada pertemuan pertama saya membawa cat air Marie's dan satu buah kuas seharga Rp 1,500. Mas Tanto tampak ingin tertawa melihat kuas yang saya bawa.
"Ini kuas apa? Ini mah kuas bulu tikus! Kuas yang bagus itu kalau disapukan bentuknya kembali ke semula. Nih, kamu pinjem kuas saya aja ya"
Sambil menahan malu, saya menerima pinjaman kuas Bali Artist milik Mas Tanto. Berikutnya saya menuangkan cat dari dalam tube ke palet plastik murahan warna hijau tua. Yak! Satu lagi kesalahan saya. Karena warna paletnya tua jadi warna catnya tidak terlihat jelas.
        Saya melihat cat air yang digunakan Mas tanto berupa balok-balok padat kecil dalam tempat pensil kaleng merk Rembrandts. Milik Rani juga berbentuk padat, merknya Reeves. Milik Mbak Upi juga. Sementara kepunyaan Risda merk Sakura. Ada juga yang bentuknya padat dalam kotak kayu yang terlihat sangat mahal. Reeves dan Sakura merupakan cat student grade, sementara sisanya cat artist grade. Baru hari itulah saya mengetahui ada jenis cat air padat. Selama ini setahu saya semua cat air berbentuk pasta dalam tube. Kalaupun pernah melihat yang padat, saya kira itu cat untuk mainan anak kecil. Mas Tanto pun menganjurkan memakai cat air padat untuk kelas ini agar lebih praktis dan tidak membuang banyak waktu saat melukis.
         Usai pertemuan itu, saya bertekad untuk membeli cat air padat. Saya pergi ke Balubur dan hanya menemukan merk Giotto seharga Rp 30,000. Sebenarnya budget saya lebih dari itu, tapi apa boleh buat. Saya beli cat Giotto, satu  kuas bulat Lyra no 5, dan satu buah concorde sketchbook khusus cat air. Cat air padat ternyata memudahkan saya dalam melukis. Tidak perlu repot, tinggal colek-colek dan mencampur warna.

         Kelas melukis cat air di Tobucil hanya empat kali pertemuan. Materinya pun terbatas hanya teknik chiaroscuro.
Chiaroscuro berasal dari kata Italia yang berarti gelap-terang yang bisa juga diartikan menjadi kontras yang sangat kuat antara cahaya dan bayangan di dalam suatu karya seni.
Hal yang menjadi ciri khas chiaroscuro adalah pengaplikasian cahaya pada objek lukisan yang memberikan kesan trimatra sangat jelas akibat pengaplikasian hhighlight dan bayangan. Teknik ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang perspektif, reaksi permukaan benda terhadap pantulan cahaya, dan proses pembentukan bayangan. (Wikipedia)

         Yang saya tidak menyangka adalah bahwa ternyata kelas ini sangat sulit dan melelahkan. Melukis dengan cat air seharusnya transparan sehingga terlihat lapisan atau tumpukan sapuan warnanya, tetapi Mas Tanto selalu bilang bahwa saya terlalu rapi dan 'ngeblok' seperti mewarnai menggunakan corel draw sehingga tidak tampak keindahan khas cat air. Saya juga kesulitan mengidentifikasi gelap terang pada contoh gambar yang harus dilukis.
         Balik lagi ke masalah merk cat air, saya mulai bosan sama Giotto karena menurut saya warnanya agak opaque. Saya kembali berburu cat air baru. Kali ini tujuan saya Gramedia. Di Gramedia ternyata yang dijual tidak begitu beragam. Hanya ada Reeves, Giotto, Pentel, dan saya menemukan merk Pelican. Sebenarnya dilihat dari kemasan, Reeves lebih compact dan ramping. Tetapi, entah mengapa saya memilih Pelican. Harganya Rp 60,000. Seperti ini tampaknya kekasih baru saya:

Pelican mampu memenuhi ekspektasi saya. Warnanya halus dan transparan cocok untuk digunakan pada berbagai teknik. Dengan bantuan video tutorial di youtube, saya bisa belajar beberapa teknik seperti teknik wet on wet dan mencampur warna. Akhirnya saya bisa membuat efek cat air seperti yang sering saya temukan di Tumblr. Pokoknya saya dan Pelican selalu bersama tak terpisahkan. Dia seperti obat saat sedih melanda *yes river*


         Lama kelamaan saya kurang puas dengan cat Pelican karena warnanya terlalu soft sehingga kurang maksimal dalam mengekspresikan suasana hati saya yang cerah ceria (naon sih).  Jadi saya berniat membeli cat baru yang lebih bagus seperti Tallens atau Cotman. Setelah mencari ke sana kemari saya tidak kunjung menemukan. Memang cat merk tersebut biasanya dijual di toko khusus perlengkapan seni lukis. Salah satunya di Toko Tidar di daerah Cihapit. Namun, karena tempatnya sedikit rumit dan sulit dijangkau, saya pun memutuskan untuk membeli cat Reeves. Ini foto cat air dan hasil lukisan menggunakan Reeves:


Reeves memang lebih kuat pigmennya, tetapi sedikit kusam dan tidak bagus untuk teknik wet on wet. Warnanya tidak menyebar sempurna seperti Pelican. Akhirnya saya pun kembali ke pelukan Pelican tercinta.
Ini lukisan terakhir saya menggunakan Pelican:


Saya masih terus belajar agar kelak siap untuk menggunakan cat artist grade untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda. Sekian yang dapat saya sampaikan berdasarkan pengalaman yang saya alami. Salam cat air! :)






Senin, 03 Maret 2014

Lost in Bali (part 1)

Oke saya tahu it's been to late. Sekarang sudah menginjak pertengahan bulan ke-tiga di tahun 2012. Biasanya kaleidoskop dibuat di detik-detik akhir tahun, ini malah kelewat basi. Tidak apa-apa, saya baru sempat merangkum semuanya. Ini adalah catatan perjalanan saya selama tahun 2011.

April 2011

Lost in Bali

Malam itu saya dapat SMS berisi ajakan pergi ke Bali 'haratis'. Tiket pesawat PP ditanggung dan diiming-imingi ga usah bayar hotel oleh teman saya. "Kapan?". "Lusa". Atuuuhh lusa mah saya ada UTS dua biji atuh euy! Dan tentu saja jadwalnya ga bisa diundur karena tiketnya sudah dibeli. Itu loh tiket promonya AirAsia yang suka dipesen jauh-jauh hari. Tadinya yang mau berangkat adalah Ado, Kakak ceweknya, Kakak cowoknya, Istri dari kakak cowoknya, dan satu lagi yaitu Niki. Menjelang hari-H, istri kakaknya yang lagi hamil sudah mendekati tanggal persalinan, dan kakak cowoknya tentu harus menjadi suami siaga. Ya sudah 2 tiket nganggur. Yang membuat perjalanan ini menarik dan berkesan sebenarnya bukanlah tempat wisatanya atau keseruan lain selama di Bali karena ini adalah kali ke tiga saya mengunjungi Bali. Ya walaupun untuk pertama kalinya saya menginap di rumah warga  yang kebetulan adalah sepupunya Ado. Yang membuat perjalanan kali ini berkesan justru kesialan-kesialan yang kami alami. Sehari sebelum keberangkatan, Niki kehilangan dompet. Jadi, keesokan harinya beberapa jam sebelum jadwal berangkat ke bandara, Niki masih sibuk ngurus-ngurus kehilangan ke bank dan kantor polisi. Ado lagi sibuk ngurus persiapan event ke rektor di DU. Dan saya masih ngetak-ngetik aja dong ngerjain tugas Sosiolinguistik di kostan. Ya, kami sama-sama sibuk dan terlambat :O.. Tapi tetep aja ya bok, saya yang paling telat soalnya berangkat dari jatinangor :(. Entah apa yang ada di pikiran saya, bawaan saya cukup rempong karena turut memboyong laptop 13" untuk..ehm ngerjain skripsi di sana -_____-. Eh bentar, saya kepikirannya di sana bakal banyak waktu membosankan soalnya biasanya tiap bepergian bersama keluarga selalu begitu. Mengapa? Karena sebelum-sebelumnya saya dan keluarga ke Bali dalam rangka "menemani" bapak saya yang ikut simposium. Nah, kalo pagi-pagi kan bosen tuh nunggu si bapak beres acara. Tapi saya lupa ini acara jalan-jalan sama teman-teman. Huffttt..
Saya bawa ransel, tas laptop, dan payung. Di Damri, selesai membayar ongkos, saya enggan memasukkan kembali dompet saya. Karena repot dan pasti bakal nyenggol teteh-teteh di sebelah saya. Yaudah itu dompet saya pegang di pangkuan bersama tas laptop dan payung. Saya sms-an sama Niki dan Ado menanyakan saya harus turun di mana. Niki bilang di perempatan yang ada Pizza Hut. Okelah saya turun, melompat dari bis. Saya nelepon Niki berkali-kali...

"Nik, lo dimana? Lama banget sih".
"Gua masih di jalan"
"Gua udah depan Pizza Hut"
"Ketemu di BSM aja, Sar"

Saya pun menanyakan arah ke BSM kepada satpam. Fuck, ternyata saya salah turun, harusnya satu perempatan lagi. Dari situ ngga ada angkot lah ya. Saya jalaaaann sampe perempatan berikutnya, baru naik angkot hijau. Di angkot saya bolak-balik meriksa ransel dan tas. Dompet saya ngga ketemu juga. Cuma ada selembar uang seribu di saku celana. Uang itulah yang saya gunakan untuk membayar ongkos angkot untungnya. Eh iya, suasana masih hujan yah ini teh. Di depan BSM saya akhirnya bertemu Niki dan Ado. Kami naik angkot menuju ke Cipaganti Travel untuk naik shuttle bus ke Bandara Soetta.
"Do, bayarin dulu lah. Dompet gua kayanya ilang," ujar saya.
"Iya. Eh serius lo ilang? Tar di sana gimana?"
"Iya ilang daritadi gua cari ga ada. Ah, kan di sana ga usah bayar apa-apa kata lo"
"Ya udah tapi KTP yang lain-lain gimana?"
"Ngga tau lah, pusing gua"
Saat itu saya ngga panik ngga apa. Soalnya ga tau harus gimana dan atmosfer terburu-buru begitu terasa.
Waktu sudah mepet, kami berharap semoga bus-nya belum berangkat. Tapi kami terkejut begitu tahu bahwa sekarang shuttle busnya cuma ada di Pasteur. Balik lagi deh ke BSM buat cari taksi. Si sopir taksi menyarankan supaya naik mobil rental temannya aja kalo mau ngejar ke bandara Soetta. Alasannya, mobil pribadi lebih diutamakan kalo misal mau kebut2 nyusul2 dibanding mobil umum seperti taksi. Okelah. 600rebu aja dong tarifnya.